Jumat, 20 Mei 2011

Sosiolinguistik

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Masyarakat tutur yang tertutup, yang tidak tersentuh oleh masyarakat tutur lain, entah karena letaknya yang jauh terpencil atau karena sengaja tidak mau berhubungan dengan masyarakat tutur lain, maka masyarakat tutur itu akan tetap menjadi masyarakat  tutur yang statis dan tetap menjadi masyarakat yang monolingual. Sebaliknya, masyarakat tutur yang terbuka, artinya, yang mempunyai hubungan dengan masyarakat tutur lain, tentu akan mengalami apa yang disebut kontak bahasa dengan segala peristiwa-peristiwa kebahasaan sebagai akibatnya. Peristiwa-peristiwa kebahasaan yang mungkin terjadi sebagai akibat adanya kontak bahasa itu adalah apa yang di dalam sosiolinguistik disebut bilingualisme, diglosia, alih kode, campur kode, interferensi, integrasi, konvergensi, dan pergeseran bahasa. Dalam bab ini hanya akan dibicarakan tentang bilingualisme dan diglosia, serta hubungan atau kaitan antara keduanya. Sedangkan peristiwa yang lainnya akan dibicarakan pada bab berikutnya.  
 
B. Rumusan Masalah
a. Pengertian Bilingualisme ?
b. Pengertian Diglosia ?
c. Hubungan antara Bilingualisme dan Diglosia ?
C. Tujuan Pembahasan
a. Untuk mengetahui pengertian Bilingualisme
b. Untuk mengetahui pengertian Diglosia
c. Untuk mengetahui hubungan antara Bilingualisme dan Diglosia
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Bilingualisme
Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Dari istilahnya secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosiolingistik, secara umum, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergalannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey 1926:12, Fishman 1975:73). Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1) dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan). Sedangakn kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas (dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasanan) selain istilah bilingualisme dengan segala jabarannya ada juga istilah multilingualisme (dalam bahasa Indonesia disebut juga keanekaragaman) yakni keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
Konsep umum bahwa bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian telah menimbulkan sejumlah masalah yang biasa dibahas kalau orang membicarakan bilingualisme.
Awal terbentuknya bilingualisme terletak pada keberadaan masyarakat bahasa yang berarti masyarakat yang menggunakan bahasa yang disepakati sebagai alat komunikasinya. Dari masyarakat bahasa tersebut akan menjadi sebuah teori baru mengenai bilingualisme dan monolingual. Monolingual adalah masyarakat bahasa yang menggunakan satu bahasa. Sedangkan bilingualisme menurut Nababan (1964:27) kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain. Menurut Kamus Besar Bahas Indonesia dan dalam Kamus Linguistik bilingualisme diartikan sebagai pemakai dua bahasa atau lebih oleh penutur bahsa atau oleh suatu masyarakat bahasa. Dengan kata lain kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih dalam bilingualisme berlaku secara perorangan dan juga secara kelompok kemasyarakatan. Penekanan bilingualisme disini terletak pada keadaan atau kondisi serta penutur atau masyarakat bahasa. Bilingualisme sering juga disebut dengan kedwibahasaan. Sedangkan menurut Mackey bilingualisme bukanlah fenomena sistem bahasa melainkan fenomena pertuturan atau penggunaan bahasa yakni praktik penggunaan bahasa secara bergantian. Bilingualisme bukan ciri kode melainkan ciri pengungkapan. Bilingualisme memiliki dua tipe yang pertama bilingualisme setara yaitu bilingualisme yang  terjadi pada penutur yang memiliki penguasaan bahasa secara relatif sama. Di dalam bilingualisme setara ini terdapat proses berfikir. Tipe yang kedua yakni bilingualisme majemuk, bilingualisme ini terjadi pada penutur yang tingkat kemampuan menggunakan bahasanya tidak sama. Sering terjadi kerancuan dalam bilingualisme ini sehingga dapat menyebabkan interferensi. Interferensi adalah masuknya suatu bahasa kedalam bahasa yang lain. Faktor penentu yang menyebabkan bilingualisme adalah bahasa yang digunakan, bidang penggunaan bahasa, dan  mitra berbahasa.
Jadi, bilingualisme yang lazim adalah adanya perbedaan peranan untuk setiap bahasa. Artinya, setiap bahasa di dalam masyarakat bilingual itu tidak dapat secara bebas dugunakan, melainkan harus diperhatiakan fungsinya masing-masing. Seumpama, di Indonesia penutur bilingual bahasa Sunda (B1) – bahasa Indonesia (B2), hanya bisa menggunakan bahasa Sundanya untuk percakapan yang bersifat kekeluargaan, dan tidak dapat menggunakannya untuk berbicara dalam sidang DPR.

B. Pengertian Diglosia
Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu. Rumusan asli Ferguson tentang diglosia itu adalah sebagai berikut;
(1) Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, di mana selain terdapat sejumlah dialek-dialek utama (lebih tepat: ragam-ragam utama) dari suatu bahasa, terdapat juga sebuah ragam lain.
(2) Dialek-dialek utama itu di antaranya, bisa berupa sebuah dialek standar, atau sebuah standar regional.
(3) Ragam lain (yang bukan dialek-dialek utama) itu memiliki ciri:
- Sudah (sangat) terkodifikasi
- Gramatikalnya lebih kompleks
- Merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan dihormati
- Dipelajari melalui penndidikan formal
- Digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal
- Tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk percakapan sehari-hari
Berbeda dengan Ferguson, Fishman beranalisa bahwa diglosia mengacu pada penggunaan bahasa yang berbeda dengan fungsi yang berbeda. Diglosia dapat dipilah menjadi dua profil yakni diglosia pada masyarakat monolingual yang berasumsi fenomena pemilihan ragam bahasa seperti dialek dan register, dan diglosia pada masyarakat bilingual yaitu fenomena pemilihan dan penggunaan salah satu masyarakat bahasa sesuai dengan fugsinya. Landasan dalam diglosia ini adalah pertimbangan fungsi bahasa dalam menentuakan pilihan bahasa diantara dua bahasa atau lebih, bukan kebiasaan dan kemampuan menggunakan dua bahasa. Situasi diglosia di Indonesia terbagi menjadi dua yaitu situasi pilihan bahasa dan situasi penggunaan varian bahasa. Situasi pilihan bahasa disini membandingkan kedudukan yang tinggi dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Bahasa tinggi dan bahasa daerah ditentukan oleh konteks dan situasi kebutuhan alat komunikasi yang dikaitkan dengan fungsi bahasa pilihan.
 C. Hubungan antara Bilingualisme dengan Diglosia :
1) Bilingualisme dengan diglosia, pada tipe itu dua fenomena penggunaan bahasa terjadi. Memiliki ciri yakni anggota masyarakat mengetahui situasi yang menuntut penggunaan bahasa, baik dalam kaitannya dengan bahasa yang dipilih sesuai dengan fungsinya maupun dalam kaitannya dengan bahasa yang dipilih sesuai dengan gengsi bahasa dan varian.
2) Bilingualisme tanpa diglosia, memiliki ciri bahwa setiap bahasa memiliki peluang untuk digunakan tanpa perlu pembatasan fungsi tertentu. Bahasa dipilih tanpa dikaitkan dengan fungsi sosial karena fungsi sosial bahasa pada tipe ini tidak kuat.
3)  Diglosia tanpa bilingualisme, tipe ini memiliki sebuah asumsi bahwa diantara penutur kelompok elite dan masyarakat tidak pernah terjadi interaksi dalam arti menggunakan bahasa yang dipilih. Mereka berinteraksi melalui penterjemah atau interpreter.
4) Tanpa diglosia dan tanpa bilingualisme tipe ini mengandalkan kemungkinan adanya masyarakat kecil, anggotanya sangat terbatas, sangat terpencil egalitarian yang hanya memiliki satu bahasa dan satu ragam bahasa, serta tidak ada perbedaan peran yang dimainkan oleh gaya-gaya yang terdapat dalam bahasa itu. 


BAB III
KESIMPULAN
A. Pengertian Bilingualisme
Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Dari istilahnya secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosiolingistik, secara umum, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergalannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey 1926:12, Fishman 1975:73).
B. Pengertian Diglosia
Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu. Rumusan asli Ferguson tentang diglosia itu adalah sebagai berikut;
(1) Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, di mana selain terdapat sejumlah dialek-dialek utama (lebih tepat: ragam-ragam utama) dari suatu bahasa, terdapat juga sebuah ragam lain.
(2) Dialek-dialek utama itu di antaranya, bisa berupa sebuah dialek standar, atau sebuah standar regional.
(3) Ragam lain (yang bukan dialek-dialek utama) itu memiliki ciri:
- Sudah (sangat) terkodifikasi
- Gramatikalnya lebih kompleks
- Merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan dihormati
- Dipelajari melalui penndidikan formal
- Digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal
-Tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk percakapan sehari-hari


C. Hubungan antara Bilingualisme dan Diglosia
1) Bilingualisme dengan diglosia, pada tipe itu dua fenomena penggunaan bahasa terjadi. Memiliki ciri yakni anggota masyarakat mengetahui situasi yang menuntut penggunaan bahasa, baik dalam kaitannya dengan bahasa yang dipilih sesuai dengan fungsinya maupun dalam kaitannya dengan bahasa yang dipilih sesuai dengan gengsi bahasa dan varian.
2) Bilingualisme tanpa diglosia, memiliki ciri bahwa setiap bahasa memiliki peluang untuk digunakan tanpa perlu pembatasan fungsi tertentu. Bahasa dipilih tanpa dikaitkan dengan fungsi sosial karena fungsi sosial bahasa pada tipe ini tidak kuat.
3)  Diglosia tanpa bilingualisme, tipe ini memiliki sebuah asumsi bahwa diantara penutur kelompok elite dan masyarakat tidak pernah terjadi interaksi dalam arti menggunakan bahasa yang dipilih. Mereka berinteraksi melalui penterjemah atau interpreter.
4) Tanpa diglosia dan tanpa bilingualisme tipe ini mengandalkan kemungkinan adanya masyarakat kecil, anggotanya sangat terbatas, sangat terpencil egalitarian yang hanya memiliki satu bahasa dan satu ragam bahasa, serta tidak ada perbedaan peran yang dimainkan oleh gaya-gaya yang terdapat dalam bahasa itu. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar